A. Pendahuluan
Kehidupan
manusia tidak dapat dilepaskan dari berbagai aktivitas yang melibatkan
interaksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Ini dikarenakan kehidupan
manusia pada hakikatnya saling membutuhkan untuk bisa saling memenuhi keinginan
dan harapan (Listia, 2015: 14). Begitu banyak keinginan manusia yang harus
dipenuhi di antaranya adalah keinginan
alamiah untuk terus berpikir dan berdialektika baik secara internal dalam diri
sendiri secara individu maupun secara eksternal di luar diri individu untuk
mengembangkan potensi dirinya melalui proses yang disebut dengan pendidikan
(Rini, 2013: 2). Dalam pandangan manusia sebagai makhluk pedagogi maka dinilai
bahwa manusia bukanlah sebagai objek pendidikan melainkan sebagai subjek
pendidikan. Berdasarkan anggapan tersebut maka dianggap bahwa tidak ada yang
mampu mengubah pengetahuan seseorang selain seseorang itu sendiri (Burga, 2019:
19). Berdasarkan pandangan tersebut maka pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme dinilai sebagai sebuah pendekatan yang selaras dengan
pernyataan tersebut.
B. Filsafat
Konstruktivisme
1. Filsafat
Istilah “filsafat” dapat
ditinjau dari dua segi, yakni:
a.
Segi semantik: perkataan filsafat berasal
dari bahasa arab ‘falsafah’, yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’,
yang berarti ‘philos’= cinta, suka (loving), dan ’sophia’
= pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi ‘philosophia’ berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang
berfilsafat diharapkan menjadi bijaksana.
b.
Segi praktis: dilihat dari pengertian
praktisnya, filsafat berarti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat
artinya berpikir, olah pikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh (Kristiawan,
2016: 1).
2. Filsafat
Konstruktivisme
Dewasa
ini konstruktivisme dianggap sebagai pandangan baru dalam pendidikan walaupun
sebenarnya konstruktivisme merupakan pandangan dalam filsafat. Filsafat
konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia
melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Konstruktivisme bertitik tolak dari asumsi bahwa pengetahuan tumbuh dan
berkembang dari pikiran manusia melalui mengonstruksi, bukan melalui transfer.
Konstruktivisme sebagai salah satu paradigma dalam teori belajar telah banyak
mempengaruhi pembelajaran matematika terutama terhadap pendekatan pembelajaran
yang disampaikan guru serta posisi dan peran dalam proses pembelajaran
matematika (Rangkuti, 2014: 62).
Aliran
Konstruktivisme lahir dari sebuah kritik secara terbuka terhadap pendekatan
Neorealisme dan Neoliberalisme. Manusia merupakan makhluk individual yang
dikonstruksikan melalui sebuah realitas sosial. Konstruksi atas manusia ini
akan melahirkan paham yang intersubyektif. Hanya dalam proses interaksi sosial,
manusia akan saling memahaminya. Dalam melihat hubungan antar sesama individu,
nilai-nilai relasi tersebut bukanlah diberikan atau disodorkan oleh salah satu
pihak, melainkan kesepakatan untuk berinteraksi itu perlu diciptakan di atas
kesepakatan antar kedua belah pihak. Dalam proses ini, faktor identitas
individu sangat penting dalam menjelaskan kepentingannya. Interaksi sosial
antar individu akan menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang
diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil
konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia
menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena
dapat menolak atau menerima sistem internasional, serta membentuk kembali model
relasi yang saling menguntungkan. Dalam teorinya, konstruktivistik merupakan pengembangan
lebih lanjut dari teori Gestalt. Perbedaannya adalah bahwa pada Gestalt
permasalahan yang dimunculkan berasal dari pancingan eksternal sedangkan pada
konstruktivistik permasalahan muncul dibangun dari pengetahuan yang
direkonstruksi sendiri. Dalam pembelajaran di kelas, teori ini sangat percaya
bahwa siswa mampu mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya
melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapinya, menyelesaikan dan
membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam satu
bangunan utuh.
C. Konstruktivisme
pada Pembelajaran Matematika
Prinsip
dasar yang melandasi filsafat konstruktivisme adalah bahwa semua pengetahuan
dikonstruksikan (dibangun) dan bukan dipersepsi secara langsung oleh indra (penciuman,
perabaan, pendengaran, perabaan, dan seterusnya) sebagaimana asumsi kaum realis
pada umumnya. Selain itu tidak ada teori konstruktivisme tunggal, tetapi
sebagian besar para konstruktivis memiliki setidaknya dua ide utama yang sama;
(1) pembelajar aktif dalam mengonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan; (2)
interaksi sosial merupakan aspek penting bagi pengonstruksian pengetahuan
(Bruning, Scraw, Norby, & Ronning dalam Supardan, 2016: 2).
Berdasarkan
pernyataan di atas maka dapat diketahui bahwa pembelajaran matematika yang
berlandaskan pada pembelajaran konstruktivisme harus dapat menerima pertanyaan
dan jawaban terbuka sebagai hasil konstruksi dari pemikiran peserta didik
secara individual yang berbeda-beda. Sedangkan peran guru pada pembelajaran konstruktivisme
ini lebih kepada pengarahan peserta didik pada proses pengkonstruksian
pengetahuan ini sesuai dengan pernyataan Nuraini.
Salah satu pendekatan pembelajaran
yang berdasarkan pada pembelajaran konstruktivisme adalah Realistic
Mathematics Education (RME). Pendekatan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan kata lain dari Realistic
Mathematics Education (RME). Falsafah yang mendasari pendekatan matematik
realistik seperti falsafah induknya (RME), yaitu konstuktivisme. Nilai filosofis (ontologi,
epistemologi dan aksiologi) Pendekatan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
dalam pembelajaran matematika dijabarkan sebagai berikut:
Ontologis |
: |
Pendekatan pembelajaran yang menempatkan realitas
dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari siswa yang kemudian dikaitkan
dengan pembelajaran matematika |
Epistemologis |
: |
Langkah-langkah penerapan Pendekatan Matematika
Realistik Indonesia (PMRI) dalam pembelajaran diawali dengan penyajian konten
matematika yang dihubungkan dengan situasi nyata yang dikenal siswa. Kemudian
melalui eksplorasi terhadap situasi nyata atau masalah nyata siswa menemukan
kembali konsep matematika yang akan dipelajarinya. |
Ontologi |
: |
Matematika dapat dikonstruksi dan dikembangkan
sendiri oleh siswa |
Berikut
ini contoh konstruktivisme pada pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD).
Perhatikan
dialog antara guru dan siswa berikut
Guru :
berapa 10 pangkat 3?
Siswa :
1000
Guru :
dan 10 pangkat 2?
Siswa :
100
Guru :
jadi 10 pangkat 1 menjadi berapa?
Siswa :
10
Siswa :
berapa 10 pangkat 0? (siswa bertanya kepada guru )
Guru :
mari kita cari berapa 10 pangkat 0?
kamu
tahu bahwa pangkat 10 menurun satu persatu. Apa yang
terjadi jika 10 pangkat
0?
Siswa : satu
Guru : berapa
10 pangkat -1?
Siswa : 0,1
atau 1/10
Dari dialog guru dan siswa tersebut dapat disimpulkan
bahwa dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme guru mengajak siswa untuk
mengemukakan pendapat, mencari solusi atau jawaban atas pertanyaan yang
diajukan oleh guru sehingga siswa diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman
dan mengkonstruksi sendiri tentang konsep bilangan pangkat n yaitu 10 pangkat 3
atau 103 = 1000 dimana nilai n = 3.Jadi 10n = …
Berikut
adalah sebuah contoh lain yang masih berhubungan dengan perpangkatan yang
disajikan dalam bentuk ilustrasi/cerita:
(Seekor
kakek bakteri sedang bercerita kepada cucu bakteri)
“cucuku
sayang, dulu sekali pada waktu kakek datang ke sini, kakek masih sendirian
tanpa teman ataupun sahabat”
“kapan
itu, kek?”
“delapan
jam yang lalu, cucuku”
“wah..
sudah lama sekali ya, kek?”
“iya
memang waktu begitu cepat berlalu, kakek lanjutkan ya ceritanya, kakek waktu
pertama ke sini memang masih sendirian. Tapi, karena sudah kodrat alami
kita untuk dapat membelah diri menjadi dua tiap 1 jam, akhirnya
setelah 1 jam kakek di sini, kakek langsung membelah diri. Nah, inilah
keturunan kakek yang pertama sekaligus teman pertama bagi kakek. Satu jam
berikutnya masing-masing dari kami membelah diri lagi menjadi dua, begitu
seterusnya sampai saat ini.”
“hmm..
kakek kan sudah delapan jam ada di sini, jadi keturunan kakek ada berapa ya?”
“waduh
ada berapa ya, kakek tidak pernah menghitungnya. Kalau begitu mari kita hitung
sama-sama. Supaya lebih mudah kita coba buat tabel ya”.
Jam ke- |
Jumlah keturunan kakek |
0 |
1 |
1 |
2 |
2 |
4 |
3 |
8 |
4 |
16 |
5 |
32 |
6 |
64 |
7 |
128 |
8 |
256 |
“Nah,
cu, engkau bisa lihat sendiri, ternyata jumlah keturunan kakek sampai saat ini
ada 256. Sekarang kakek ingin bertanya padamu, 3 jam lagi berapakah jumlah
kita?” (Sang cucu menggaruk-garuk kepalanya)
Dari cerita di atas, guru bisa meminta siswa untuk
membantu cucu bakteri mencari jawaban atas pertanyaan kakeknya. Selain itu guru
dapat mengarahkan siswa untuk menemukan konsep perpangkatan dengan bilangan
pokok 2.
DAFTAR PUSTAKA
Burga, M. A. (2019). Hakikat Manusia Sebagai
Makhluk Pedagogik. Al-Musannif, 1(1), 19-31.
Rangkuti, A. N. 2014. Konstruktivisme dan
Pembelajaran Matematika. Jurnal Darul ‘Ilmi. 2(2): 61-76.
Listia, W. N. (2015). Anak Sebagai Makhluk
Sosial. Jurnal Bunga Rampai Usia Emas, 1(1), 14-23.
Rini, Y. S., & Tari, J. P. S. (2013).
Pendidikan: Hakekat, Tujuan, dan Proses. Yogyakarta: Pendidikan Dan
Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Kristiawan, M. 2016. Filsafat Pendidikan the
Choice is Yours. Penerbit
Valia Pustaka Jogjakarta; Yogyakarta.
Supardan,
H. D., 2016. Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran.
Edunomic. 4(1); 1-12.
Nuraini,
N. Aliran Filsafat Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme, Dan Konstrukstivisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar